Pemerintah lagi-lagi mengejutkan publik dengan dua kebijakan ekonomi kontroversial yang diagendakan akan diterapkan pada 2025.
Pertama, agenda pelaksanaan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III yang telah dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Kedua, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Kedua kebijakan ini menimbulkan bermacam reaksi dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, ekonom, hingga masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan imbas dari kebijakan tersebut pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Pro Kontra Tax Amnesty Jilid III
Penerapan program tax amnesty jilid III telah memicu beragam respons dari berbagai kalangan. Kritik yang muncul umumnya menggarisbawahi karakteristik kebijakan ini sebagai cara reaktif pemerintah dalam merespons problem fiskal akibat perlambatan ekonomi.
Prinsip dasar program ini tak dirancang untuk diulang setiap berapa tahun sekali. Menerapkannya justru bisa mengurangi keefektifan dan kredibilitasnya, sebab masyarakat melihatnya sebagai kelonggaran yang terus-menerus alih-alih solusi khusus yang tegas dan terencana.
Tujuan utama dari tax amnesty jilid III adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dengan menarik dana-dana tersembunyi, baik yang berada di luar negeri maupun yang belum dilaporkan. Pemerintah optimis bahwa masih ada potensi besar dari wajib pajak yang belum sepenuhnya transparan.
Setelah dua program tax amnesty sebelumnya, apakah masih ada “harta karun” yang signifikan untuk ditemukan? Potensi yang tersisa kemungkinan jauh lebih kecil dibandingkan dengan program-program sebelumnya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menetapkan target yang lebih realistis agar program ini tidak kehilangan kredibilitas.
Hal paling kontroversial dari kebijakan tax amnesty adalah konsep “pengampunan” itu sendiri. Banyak yang merasa kebijakan ini tidak adil bagi wajib pajak yang sudah taat membayar pajak selama ini. Jika program ini terus diulang, bisa muncul moral hazard—wajib pajak mungkin memilih untuk tidak patuh, dengan harapan pemerintah akan kembali menawarkan pengampunan di masa depan. Ini berisiko merusak disiplin dan kepercayaan dalam sistem perpajakan.
program amnesti pajak jilid III ini mayoritas akan menargetkan wajib pajak yang telah mengikuti program tax amnesty jilid I, bukan pengemplang pajak baru yang selama ini tak patuh membayar pajak.
dalam RUU Tax Amnesty Jilid III akan mengatur konsep pemberian sanksi secara tegas kepada para pengemplang pajak yang tak juga mematuhi kewajiban perpajakan, sambil mengevaluasi besaran tarif diskon pajaknya supaya mereka betul-betul memenuhi kewajiban perpajakannya.