Sampai sekarang kesadaran masyarakat akan pajak masih belum mencapai tingkat sebagaimana yang diharapkan.
Umumnya masyarakat masih sinis dan kurang percaya terhadap keberadaan pajak karena masih merasa sama dengan upeti, memberatkan, pembayarannya sering mengalami kesulitan, ketidak mengertian masyarakat apa dan bagaimana pajak dan ribet menghitung dan melaporkannya.
Semakin maju masyarakat dan pemerintahannya, maka semakin tinggi kesadaran membayar pajaknya namun tidak hanya berhenti sampai di situ justru mereka semakin kritis dalam menyikapi masalah perpajakan, terutama terhadap materi kebijakan di bidang perpajakannya, misalnya penerapan tarifnya, mekanisme pengenaan pajaknya, regulasinya, benturan praktek di lapangan dan perluasan subjek dan objeknya.
Masyarakat di negara maju lebih merasakan manfaat pajak yang mereka bayar.
Selain banyaknya pengusaha nasional yang mangkir dari kewajiban membayar pajak, kesadaran masyarakat Indonesia untuk membayar pajak juga masih minim.
Dari 238 juta jumlah penduduk Indonesia, hanya 7 juta saja yang taat pajak.
Kalau seandainya terdapat 22 juta badan usaha, hanya 500.000 yang membayar pajak.
Itu harus ditingkatkan kembali. Jumlah angkatan kerja masyarakat Indonesia sebanyak 118 juta dari total penduduk 238 juta.
Sebanyak 40% dari angkatan kerja tersebut berpenghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jadi, jika dikalkulasikan, terdapat sebanyak 44 juta sampai 47 juta penduduk Indonesia yang seharusnya membayar pajak.
Masih jutaan yang belum bayar pajak, mungkin sekitar 50 juta. Berdasar data penyampaian surat pemberitahuan (SPT) Pajak tahun 2019, orang pribadi yang menyampaikan SPT Pajak hanya mencapai sekitar 8,5 juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 juta jiwa. Dari jumlah 8,5 juta orang itu pun sebagian merupakan SPT nihil.
Salah satu ciri negara maju adalah jika kesadaran masyarakat membayar pajak tinggi, mendekati 100 persen Seandainya dari 50 juta yang belum bayar pajak, sudah membayar kewajibannya tentu Indonesia akan lebih maju dari sekarang. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat kesadaran dan kepedulian sukarela Wajib pajak. Indikasi tingginya tingkat kesadaran dan kepedulian Wajib Pajak antara lain:
-
Realisasi penerimaan pajak terpenuhi sesuai dengan target yang telah ditetapkan.
-
Tingginya tingkat kepatuhan penyampaian SPT Tahunan dan SPT Masa.
-
Tingginya Tax Ratio
-
Semakin Bertambahnya jumlah Wajib Pajak baru.
-
Rendahnya jumlah tunggakan / tagihan wajib pajak.
-
Tertib, patuh dan disiplin membayar pajak atau minimnya jumlah pelanggaran pemenuhan kewajiban perpajakan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KESADARAN DAN KEPEDULIAN SUKARELA WAJIB PAJAK
1) Prasangka negatif kepada aparat perpajakan
prasangka negatif ini akan menyebabkan para wajib pajak bersikap defensif dan tertutup. Mereka akan cenderung menahan informasi dan tidak co operatif. Mereka akan berusaha memperkecil nilai pajak yang dikenakan pada mereka dengan memberikan informasi sesedikit mungkin. Perlu usaha keras dari lembaga perpajakan dan media massa untuk membantu menghilangkan prasangka negatif tersebut.
2) Hambatan atau kurangnya kerjasama dengan Instansi lain (pihak ketiga)
Kurangnya kerjasama dari pihak ketiga juga membuat wajib pajak menjadi mangkir dari kewajibannya atas pajak. Contoh seorang karyawan tidak mendapat bukti potong PPh 21 menyebabkan wajib pajak pribadi (karyawan) tersebut tidak melaporkan pajak pribadinya.
3) Bagi Calon Wajib Pajak, Sistem Self Assessment dianggap menguntungkan,
Sehingga sebagian besar mereka enggan untuk mendaftarkan dirinya bahkan menghindar dari kewajiban ber-NPWP. Data-data tentang dirinya selalu diupayakan untuk ditutupi sehingga tidak tersentuh oleh DJP.
4) Masih sedikitnya informasi yang semestinya disebarkan dan ketidaktahuan akan Pajak.
Ketidaktahuan akan pajak apa yang harus dibayarkan, bagaimana cara malaporkan pajaknya juga menjadi faktor wajib pajak tidak membayarkan dan malporkan pajaknya
5) Adanya anggapan masyarakat bahwa timbal balik
Masyarakat merasa pajak tidak bisa dinikmati secara langsung, bahkan wujud pembangunan sarana prasana belum merata, meluas, apalagi menyentuh pelosok tanah air.
6) Adanya anggapan masyarakat bahwa tidak ada keterbukaan pemerintah terhadap penggunaan uang pajak.