Transfer pricing mencuat ketika beberapa perusahaan multinasional mencoba menghindari pajak misalnya melakukan pengalihan laba dari negara asalnya (tarif pajak tinggi) ke negara bertarif pajak rendah
cara ini legal namun dianggap sebagai cara yang amoral karena berusaha menghindari pajak secara masif. Padahal, penerimaan pajak dari tempat perusahaan multinasional beroperasi cukup berpengaruh terhadap total penerimaan pajak tempat (negara) tersebut.
PENGERTIAN TRANSFER PRICING
Transfer pricing dapat dilihat dari tiga aspek yang berbeda.
-
Dari sisi hukum perseroan, TP dianggap sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antara perusahaan dan pemegang sahamnya.
-
Dari aspek akuntansi industri atau manajerial, transfer pricing digunakan untuk memaksimalkan laba perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu unit organisasi dari perusahaan kepada organisasi lainnya dalam perusahaan yang sama.
-
Dari aspek perpajakan, transfer pricing bisa dikatakan sebagai kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Belakangan, transfer pricing memiliki konotasi negatif karena dianggap sebagai lahan basah bagi perusahaan multinasional untuk praktik manipulasi pajak.
Manipulasi ini biasanya dilakukan dengan menerapkan kebijakan atas transfer harga yang berada di atas atau di bawah opportunity cost sebagai bentuk penghindaran kontrol pemerintah dengan memanfaatkan perbedaan regulasi antar negara terutama terkait tarif pajak.
Singkatnya manupulasi ini dilakukan dengan mark up atau mark down dengan maksud memperkecil jumlah pajak terutang.
1. CONTOH PERTAMA: MARK-UP
Sebuah perusahaan bernama Santa Corp berkedudukan di negara “A” memiliki anak perusahaan di Indonesia bernama PT ABC yang bergerak di bidang pakaian.
Dalam produksi pakaian jadi di Indonesia PT ABC mendapat bahan baku dari Santa Corp dengan harga di pasar impor sebesar Rp 50.000/pcs. Namun dalam transaksi kedua perusahaan tersebut, harga bahan baku yang sama dijual sebesar Rp 150.000/pcs.
kedua perusahaan tersebut melakukan mark-up sebesar Rp 100.000/pcs.
Proses mark-up ini tidak akan terjadi apabila dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki hubungan spesial. Seperti yang dikatakan sebelumnya, salah satu praktek dari manipulasi TP adalah dengan melakukan mark-up berdasarkan hubungan spesial antar perusahaan.
2. CONTOH KEDUA: PENGHINDARAN
Contoh kedua ini dimana Santa Corp tidak langsung menjual bahan baku kepada PT ABC namun melalui beberapa negara terlebih dahulu sehingga PT ABC memiliki margin keuntungan kecil bahkan bisa saja merugi untuk menghindari potensi pajak.
Begini skemanya, Santa Corp akan menjual bahan baku kepada anak perusahaannya yang berada di Thailand, lalu barang tersebut dijual ke anak perusahaan lainnya yang ada di Malaysia. Baru setelah dari Malaysia, bahan baku dijual ke PT ABC yang ada di Indonesia.
3. CONTOH KETIGA: MARK-DOWN
Contoh ketiga dimana PT ABC menjual produk pakaiannya seharga Rp 200.000/pcs namun tidak menjual secara langsung kepada penjual akhir.
PT ABC akan menjual terlebih dahulu ke perusahaan afiliasi PT A yang berada di negara “B” yang merupakan tax haven (memiliki tarif pajak rendah) dengan harga Rp 120.000/pcs.
Barulah PT A menjual barang tersebut ke PT S yang merupakan penjual akhir dan tidak memiliki hubungan khusus dengan PT A dan PT ABC dengan harga Rp 200.000/pcs.
Namun barang yang dikirim ke PT S tidak melalui PT A namun langsung dari PT ABC. Karena penjualan dari PT A ke PT S hanya berupa invoice.
BAGAIMANA DAMPAKNYA?
Akibatnya, PT ABC kehilangan keuntungan atau berkurang sehingga pajak PT ABC yang harus dibayarkan menjadi lebih rendah.
KESIMPULAN
Transfer pricing dapat menjadi bentuk Tax avoidance dan dapat pula menjadi bentuk tax evasion.
Dalam hal ini tergantung dari mekanisme yang dijalankan dalam melakukan transfer pricing. Ketentuan dalam UU KUP menegaskan bahwa di satu sisi praktek Transfer Pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Namun di sisi lain praktek Transfer Pricing dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan, yang diatur dalam Pasal 39 Tentang Ketentuan Pidana. Hal ini mempertegas bahwa praktek Transfer Pricing dapat dikategorikan sebagai bentuk penghindaran pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan, apabila hal tersebut dilakukan dalam rangka perencanaan pajak yang baik. Namun disisi lain dapat pula dikategorikan sebagai praktek illegal yang semata-mata untuk menghindari pajak sehingga hal tersebut dapat merugikan Negara.
Konsultasikan dengan MRB untuk mengetahui bagaimana membuat perencanaan pajak yang legal dengan transfer pricing